Selasa, 24 Januari 2012

POLYCYCLIC AROMATIC HYDROCARBON (PAH)


A.    Pengertian PAH
            Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH), juga dikenal sebagai poli-aromatik hidrokarbon atau hidrokarbon aromatik polynuclear. Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) adalah polutan atmosfer kuat yang terdiri dari cincin aromatik menyatu dan tidak mengandung heteroatom atau membawa substituen.
            Polycyclic Aromatic Hydrocarbon (PAH) merupakan kelompok senyawa yang memiliki berat molekul besar, berbentuk datar, dan memiliki struktur dengan banyakcincin aromatik. Senyawa ini banyak terdapat di alam sebagai polutan hasil pembakaran bahan-bahan organik, baik dalam bentuk partikel padat ataupun gas.
            Naftalena adalah contoh sederhana dari suatu PAH. PAH terjadi pada minyak, batubara, makanan yang dimasak pada suhu tinggi seperti memanggang ikan asap,  deposito tar, dan diproduksi sebagai produk sampingan dari pembakaran bahan bakar (baik bahan bakar fosil atau biomassa). Minyak mentah alami dan deposit batubara mengandung sejumlah besar PAH, yang timbul dari konversi kimia dari molekul produk alam, seperti steroid, untuk hidrokarbon aromatik.
            Beberapa senyawa PAH diketahui atau diduga bersifat karsinogenik. PAH dibentuk dari hasil pembakaran yang tidak sempurna dari bahan bakar yang mengandung karbon seperti kayu, batu-bara, diesel, fat, atau tembakau. PAH ada yang bersifat yang lipofilik, yang berarti mencampur lebih mudah dengan minyak dari air. PAH di lingkungan terutama ditemukan di dalam tanah, sedimen dan zat berminyak. Namun, mereka juga merupakan komponen yang menjadi perhatian dalam materi partikulat tersuspensi di udara.
            PAH toksisitas sangat tergantung struktural, dengan isomer (PAH dengan rumus yang sama dan jumlah cincin) bervariasi dari yang tidak beracun untuk menjadi sangat beracun. Jadi, PAH sangat karsinogenik mungkin kecil atau besar. Satu senyawa PAH, benzo [a] pyrene menjadi karsinogen kimia pertama yang merupakan salah satu dari banyak karsinogen ditemukan dalam asap rokok.
            Senyawa PAH dapat memiliki beberapa cincin aromatik mulai dari empat, lima,enam ataupun tujuh cincin, tetapi yang paling banyak dengan lima atau enam cincin.PAHs dengan enam cincin aromatik disebut alternant PAH. Alternant PAH tertentudisebut ”benzoid” PAH, nama ini berasal dari benzena, aromatik hidrokarbon dengantunggal, enam cincin. Antar cincin benzena dihubungkan dengan ikatan karbon-karbon(wikipedia, 2007).
            PAH berasal dari 3 proses, yaitu pirolisis, petrogenik (pembentukan batuan), dan sumber diagenetik yang berlangsung dalam jangka waktu pendek. Pirolisis dan petrogenik menghasilkan PAH yang memiliki 3, 4, dan 5-6 cincin PAH. PAH dengan 3 cincin dihasilkan oleh proses petrogenik, sedangkan PAH dengan 4 dan 5-6 cincin oleh proses pirolisis (Muri dan Wakeham, 2009). Konsentrasi PAH di lingkungan perairan sangat dipengaruhi oleh tingkat solubilitas dan keberadaan gugus nonpolar yang bersifat hidrofobik. Solubilitas PAH cenderung rendah, sehingga PAH cenderung berikatan dengan partikel organik dan anorganik dibandingkan berada dalam bentuk terlarut.  Ikatan PAH dengan partikel mengakibatkan terjadi proses koagulasi, berat partikel makin bertambah dan kemudian jatuh ke sedimen. Semakin besar ukuran partikel maka makin banyak pula PAH yang berasosiasi dan makin tinggi konsentrasi PAH yang mengalami sedimentasi. Hal tersebut mengakibatkan konsentrasi PAH di sedimen lebih besar dibandingkan PAH di kolam air.


A.    Kontaminasi Dan Tingkat Keamanan PAH
Senyawa PAHs banyak terdapat pada asap kendaraan bermotor, asap pabrik, asap rokok,asap pembakaran arang, asap hasil kebakaran hutan, asap minyak goreng, aspalpetroleum, beberapa pelarut komersial, creosote (bahan pengawet kayu), dan juga hasilpirolisis karbohidrat, asam amino, serta asam lemak. PAH yang terdapat pada makanan terjadi akibat adanya proses pengolahan (teknologi) yang menggunakan suhu tinggi seperti pemanggangan dan penggorengan, maupun akibat kontaminasi atau polusi dariudara.
Di udara molekul-molekul PAHs akan bergabung dengan partikel debu dan masuk ke dalam air, tanah maupun tanaman untuk kemudian berinteraksi dengan manusia ATSDR (Agency for Toxic Subtances and Disease Registry) mendeteksi adanya benzo(a)pyrene pada buah-buahan, sayuran, daging, minuman dan tembakau yangberedar di pasaran. Namun yang pasti, pembentukan benzo(a)pyrene pada makanan sangat tergantung dari metode pemasakan yang digunakan.Telah terbukti bahwa kandungan senyawa PAHs karsinogenik pada makanan yangdipanggang cukup tinggi, terutama pada produk hasil pemanggangan dengan kayu atauarang. Pada daging panggang (babi dan sapi) terkandung benzo(a)pyrene sebesar 1,4-4,5 ppb, sate kambing23 ppb, ikan asap Jepang 37 ppm, dan pada minyak goreng bekas 1,4-4,5 ppb. Proses pemanggangan dengan oven menghasilkan produk olahan dengan kandungan senyawa PAH yang terendah, sedangkan pemasakan dengan microwave tidak menghasilkan senyawa PAH yang karsinogenik (Elisabeth, dkk., 2000).
Hingga saat ini belum ada informasi ilmiah tentang batasan tingkat kontaminasi senyawa PAHs atau benzo(a)pyrene yang membahayakan manusia (Elisabeth, dkk.,2000) Anjuran batas kandungan PAHs oleh The Occupational Safety and HealthAdministration (OSHA) membatasi 0,2 milligrams PAHs per kubik meter udara (0,2mg/m3). OSHA permissible Exposure Limit (PEL) 5 mg/m3 PAHs untuk mineral oil. Sedangkan National Institute for Occupational Safety and Health (NIOSH)menganjurkan jumlah PAH maksimal 0,1 mg/m3 udara untuk daerah tempat kerja dengan waktu kerja 10 jam/hari dan 40 jam/minggu (Edsell, 1986) Agency for Toxic Subtancesand Disease Registry (ATSDR) merekomendasikan nilai MRL (Minimal Risk Level)benzo(a)pyrene pada manusia sebesar 0,01 ppm/kg BB/hari (ATSDR,1995) Sedangkan beberapa Negara telah membatasi jumlah benzo(a) pyrene minimal sebasar 1 ppb untuk bahan pangan yang dipanggang dan diasap (Elisabeth, dkk., 2000).
Hasil penelitian ilmuwan di Amerika Seikat sebagai berikut : Dampak merokok bagi kesehatan sangat cepat. Sama dengan menyuntikkan sesuatu zat langsung ke dalam aliran darah. Dengan menggunakan 12 perokok sebagai relawan, para ilmuwan melacak polutan yang disebut PAH atau polycyclic aromatic hydrocarbons. Ini terkandung di dalam asap tembakau dan juga dapat ditemukan di pembangkit listrik yang bertenaga batu bara serta pada makanan yang dipanggang. Mereka mengikuti perkembangan satu jenis khusus--phenanthrene, yang ditemukan pada asap rokok-- melalui darah dan menyaksikan zat itu membentuk bahan beracun yang dikenal untukmelacak DNA, yang mengakibatkan mutasi sehingga dapat menyebabkan kanker, kata studi tersebut. Hasil ini sangat penting sebab epoksida diol PAH bereaksi dengan DNA, mendorong mutasi, dan dipandang sebagai penyebab utama kanker dari banyak PAH pada asap rokok.


A.    Dampak Negatif PAH Bagi Kehidupan Manusia
            Ada beberapa dampak negatif yang timbul yang disebabkan oleh PAH bagi kehidupan manusia, antara lain :
1.      PAH yang terkandung dalam makanan
Daging mengandung protein hewani, lemak jenuh, dan dalam beberapa kasus mengandung senyawa penyebab kanker seperti heterocyclic amines (HCA) dan polycyclic aromatic hydrocarbons (PAH) yang terbentuk selama daging diproses atau dimasak. HCA, terbentuk ketika daging dimasak pada suhu tinggi dan PAH terbentuk selama pembakaran bahan organik yang dipercaya meningkatkan risiko kanker. Sebagai tambahan, kandungan lemak tinggi dari daging dan produk hewani lainnya meningkatkan produksi hormon, sehingga meningkatkan risiko kanker yang berhubungan dengan hormon seperti kanker payudara dan prostat. Menggoreng atau membakar daging di atas kobaran api langsung mengakibatkan hilangnya lemak di api yang panas dan memproduksi kobaran yang mengandung  polycyclic aromatic hydrocarbon. Polycyclic aromatic hydrocarbon (PAH) melekat pada permukaan makanan, dan semakin besar panasnya maka semakin muncul PAH-nya. Hal itu dipercaya secara luas memainkan peranan penting dalam kanker pada manusia. Hubungan yang cukup konsisten antara konsumsi daging yang dibakar atau dipanggang oven tetapi tidak digoreng dengan kanker perut menyiratkan bahwa makanan yang terkena PAH mungkin memainkan peranan dalam pengembangan kanker perut pada manusia.
2.      PAH pada anak
PAH pada pralahir dikaitkan dengan IQ yang lebih rendah dan menyebabkan asma anak . Pusat studi Lingkungan Kesehatan Anak menunjukkan bahwa paparan polusi PAH selama kehamilan berkaitan dengan hasil kelahiran yang merugikan termasuk berat badan lahir rendah, persalinan prematur, dan jantung malformasi. Darah tali pusat bayi yang terkena menunjukkan kerusakan DNA yang telah dikaitkan dengan kanker. Tindak lanjut penelitian menunjukkan tingkat yang lebih tinggi keterlambatan perkembangan pada usia tiga, skor rendah pada tes IQ dan masalah behaviorial meningkat pada usia enam dan delapan.
3.      PAH bagi kesehatan manusia
PAH juga sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Imunosupresi (penghambat sistem) akibat toksisitas PAH bagi kesehatan manusia dapat memperbesar kerentanan tubuh terhadap bakteri, parasit dan virus, serta kerentanan terhadap kanker. Bahkan PAH telah dipercaya sebagai salah satu penyebab utama kanker paru-paru. Dr Hecht dan rekan menuturkan senyawa PAH yang disebut dengan fenantrena dalam rokok cepat membentuk zat beracun dalam darah yang menyebabkan mutasi hingga memicu terjadinya kanker.
Beberapa golongan PAH, seperti Benzo[a]pyrene, diketahui dapat menganggu fungsi reproduksi. PAH dapat menyebabkan toksisitas reproduktif. Toksisitas reproduktif atau toksikologi reproduksi adalah kondisi yang muncul akibat efek-efek berbahaya dari suatu zat kimia yang merugikan fungsi seksual dan sistem reproduksi kaum laki-laki dan perempuan sekaligus efek yang mengganggu perkembangan normal baik sebelum maupun sesudah lahir. Selain itu, studi epidemiologi menunjukkan bahwa resiko penyakit kanker paru-paru, lambung dan kulit cukup tinggi pada masyarakat yang tinggal didaerah yang udaranya mengandung PAH tinggi.

A.    Alternatif Pencegahan Dampak PAH
            Beberapa alternatif yang dapat dilakukan terkait dengan pencegahan terkena dampak dari PAH antara lain :
1.      Dengan melakukan pembakaran yang sempurna pada bahan bakar yang mengandung karbon seperti kayu, batu-bara, diesel, fat, atau tembakau.
2.      Untuk mengantisipasi bahaya PAH yang terkandung di dalam makanan maka perlu pembahasan mengenai persyaratan mutu PAH pada produk pangan khususnya produk asap, ikan asap, daging asap dan lain sebagainya serta produk minyak dan margarin.World Health Organization (WHO) meregulasi kandungan PAH, bahwa kandungan PAH (benzo-a-pyrene) tidak boleh lebih dari 10 μg/kg. Oleh karena itu, perlu pengawasan dan tidak lanjut terhadap perlakuan proses bahan pangan yang dapat memaparkan PAH.
3.      Untuk pencegahan terkena dampak negatif dari PAH yang berasal dari asap rokok adalah dengan tidak merokok atau menjauhi asap rokok karena PAH terdapat pada  asap rokok.
4.      Untuk penanganan masalah PAH pada kendaraan
pembakaran bahan bakar di kendaraan bermotor bisa menghasilkan hidrokarbon aromatik polisiklik (polycyclic aromatic hydrocarbon) yang merupakan senyawa karsinogenik (dapat mengakibatkan penyakit kanker), Dapat untuk meminimasi dapat dilakukan:
a) Merawat mesin kendaraan bermotor agar tetap berfungsi baik
b) Melakukan pengujian emisi dan KIR kendaraan secara berkala
c) Memasang filter pada knalpot

Keterkaitan UNFCCC, Protokol Kyoto, serta REDD dalam Rangka Penanggulangan Gas Rumah Kaca dan Global Warming


       Pemanasan global berawal dari adanya Revolusi Industri pada akhir abad ke-18 di Eropa. Revolusi Industri adalah masa dimana terjadi pengalihan kegiatan produksi yang semula menggunakan tenaga manusia menjadi penggunaan mesin dan teknologi (industri). Semula tujuan dari Revolusi Industri adalah untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar dengan adanya pengalihan kegiatan produksi menggunakan mesin tersebut, karena penggunaan mesin dianggap lebih efisien dari pada menggunakan tenaga manusia. Sehingga sejak saat itu pula bahan bakar fosil mulai digunakan secara intensif. Namun, masalah baru muncul setelah terjadi Revolusi Industri tersebut. Penggunaan mesin pada kegiatan produksi tersebut ternyata menghasilkan gas buangan dari hasil pembakarannya, yang kemudian menimbulkan polusi (emisi Gas Rumah Kaca atau GRK) sehingga mulai terjadi apa yang dinamakan pemanasan global (global warming).
          Polusi yang diakibatkan oleh aktivitas manusia tersebut menghasilkan GRK yang menjadi penyebab terjadinya global warming. Di lansir dari Wikipedia Indonesia, Gas Rumah Kaca (GRK) dapat diartikan sebagai gas-gas yang ada di atmosfer yang menyebabkan efek rumah kaca. Gas-gas tersebut sebenarnya muncul secara alami di lingkungan, tetapi dapat juga timbul akibat aktivitas manusia.Peningkatan konsentrasi GRK sebagai akibat aktivitas kegiatan manusia tersebut telah menyebabkan meningkatnya radiasi sinar UV yang terperangkap di atmosfer sehingga menimbulkan efek pada bumi. GRK dapat diilustrasikan ke dalam gambar di bawah ini :

Gambar 1. Efek Rumah Kaca
Sumber : pesonageografi.wordpress.com/2011/01/22/pemanasan-global-global-warming
 
          Efek rumah kaca disebabkan karena naiknya konsentrasi gas karbon dioksida (CO2) dan gas-gas lainnya di atmosfer. Kenaikan konsentrasi gas CO2 ini disebabkan oleh kenaikan pembakaran bahan bakar minyak, batu bara dan bahan bakar organik lainnya yang melampaui kemampuan tumbuhan-tumbuhan dan laut untuk menyerapnya. Selain gas CO2, yang dapat menimbulkan efek rumah kaca adalah belerang dioksida, nitrogen monoksida (NO) dan nitrogen dioksida (NO2) serta beberapa senyawa organik seperti gas metana dan klorofluorokarbon (CFC). Gas-gas tersebut memegang peranan penting dalam meningkatkan efek rumah kaca (Wikipedia Indonesia,2011).
          Efek rumah kaca juga akan mengakibatkan meningkatnya suhu air laut sehingga terjadi kenaikan permukaan air laut. Hal ini berkontribusi terhadap fenomena pemanasan global (global warming) yaitu meningkatnya suhu permukaan bumi. Pemanasan global akan mengakibatkan mencairnya gunung-gunung es di daerah kutub yang dapat menimbulkan naiknya permukaan air laut. Pemanasan global juga mengakibatkan perubahan iklim yang berupa perubahan pada unsur – unsur iklim seperti naiknya suhu permukaan bumi, meningkatnya penguapan di udara, berubahnya pola curah hujan, dan tekanan udara yang sangat berdampak pada pengubahan pola iklim dunia.  

A. Perumusan United Nations Frameworks Convention on Climate Change        
     (UNFCCC)
          Isu mengenai pemanasan global dan perubahan iklim dunia tersebut yang semula hanya digulirkan oleh beberapa orang ahli kemudian menjadi isu hangat yang mulai ramai diperbincangkan. Isu tersebut kemudian semakin mendunia setelah adakannya pertemuan  WMO (World Meteorology Organization) pada dekade 1980-an. Kemudian  WMO dan United Nations Environment Programme (UNEP) membentuk Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 1988.
          IPCC merupakan kelompok para ilmuwan dari seluruh dunia yang memiliki tugas di dalam meneliti fenomena perubahan iklim serta pemecahan yang diperlukan. Pada tahun 1990, IPCC menerbitkan laporan pertamanya yang dikenal dengan First Assessment Report yang menyimpulkan suhu meningkat sekitar 0,3-0,6° C dalam satu abad terakhir. Laporan tersebut menjelaskan emisi yang dihasilkan manusia telah menambah Gas Rumah Kaca alami dan penambahan itu akan menyebabkan kenaikan suhu. Oleh karena itu, IPCC menyerukan pentingnya sebuah kesepakatan global untuk menanggulangi masalah tersebut.
          Pada Desember 1990, Majelis Umum PBB akhirnya menanggapi seruan IPCC untuk mengatasi masalah perubahan iklim secara global dengan meluncurkan negosiasi mengenai kerangka konvensi perubahan iklim dan dengan membentuk Intergovernmental Negotiating Committee (INC) untuk pelaksanaan negosiasi tersebut. Akhirnya, pada bulan Mei 1992, INC menyepakati Kerangka Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change – UNFCCC).
          PBB menyelenggarakan United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) atau Konferensi Khusus tentang Masalah Lingkungan dan Pembangunan atau yang lebih dikenal dengan  KTT Bumi (Earth Summit)  pada 1992 di Rio de Janeiro, Brazil.  KTT Bumi menekankan pentingnya semangat kebersamaan (multilaterisme) untuk mengatasi berbagai masalah yang ditimbulkan oleh benturan antara upaya-upaya melaksanakan pembangunan dan upaya-upaya melestarikan lingkungan (Al-Jauzaa’,2010).

Gambar 2. Perumusan UNFCCC


 














          Konvensi ini bertujuan untuk melakukan stabilisasi konsentrasi Gas Rumah Kaca dalam atmosfer pada level yang aman dan memungkinkan terjadinya adaptasi ekosistem, sehingga dapat menjamin ketersediaan pangan dan pembangunan berkelanjutan. Konvensi ini menekankan kesetaraan dan kehati-hatian (precautionary principle) sebagai dasar semua kebijakan. Pada konvensi ini juga dikenal adanya prinsip “common but differentiated responsibilities”, dimana setiap negara memiliki tanggung jawab yang sama tetapi dengan peran yang berbeda-beda, dalam upayanya menekan laju peningkatan emisi GRK dinegerinya. Konvensi ini sendiri tak membatasi emisi gas rumah kaca bagi negara-negara, dan tak memiliki daya paksa apapun. Forum pengambilan keputusan tertinggi dalam kerangka UNFCCC adalah Conference of Parties (COP).
          UNFCCC mulai ditandatangani pada 9 Mei 1992, serta mulai diterapkan pada 21 Maret 1994.  Akhirnya pada tahun 1994, Indonesia meratifikasi UNFCCC melalui Undang-Undang No. 6 tahun 1994. Dengan meratifikasi UNFCCC tersebut, Indonesia berkewajiban mengkomunikasikan berbagai upaya yang dilakukan dalam rangka mengurangi dampak pemanasan global akibat terjadinya perubahan iklim global.
          Setelah diadakan KTT Bumi, kemudian diselenggarakanlah beberapa COP (Conference of the Parties). Yang paling penting di antaranya adalah COP III di Kyoto, Jepang, pada bulan Desember 1997 yang menghasilkan Protokol Kyoto.

B. Protokol Kyoto
          Sesuai dengan namanya, Protokol Kyoto dihasilkan dalam pertemuan ketiga Conference of Parties (COP) UNFCCC pada tanggal 11 Desember 1997 di kota Kyoto, Jepang, dan mulai berlaku pada 16 Februari 2005. Yang menjadi perbedaan utama antara Konvensi dan Protokol yaitu Konvensi akan mendorong negara – negara industri untuk menstabilkan emisi GRK, sedangkan Protokol membuat mereka berkomitmen untuk melakukannya. Bagi negara yang menandatangani dan meratifikasinya, Protokol Kyoto akan mengikat secara hukum.
          Protokol Kyoto memiliki masa komitmen yang akan berakhir pada tahun 2012. Negara-negara penandatangan UNFCCC masih berada dalam proses perumusan perjanjian baru yang akan meneruskan atau menggantikan Protokol Kyoto setelah masa komitmen pertama berakhir. Untuk itu pada tahun 2007 telah dihasilkan Bali Roadmap yang melandasi perundingan internasional dalam mencapai hal tersebut.
          Protokol Kyoto merumuskan secara rinci langkah yang wajib dan dapat diambil oleh berbagai negara yang meratifikasinya untuk mencapai tujuan yang disepakati dalam perjanjian internasional perubahan iklim PBB, yaitu “stabilisasi konsentrasi gas rumah kaca dalam atmosfir pada tingkat yang dapat mencegah terjadinya gangguan manusia/ antropogenis pada sistem iklim dunia”. Protokol Kyoto menempatkan beban berat pada negara-negara maju di bawah prinsip "common but differentiated responsibilities", hal ini dikarenakan negara – negara maju lebih bertanggung jawab atas tingginya tingkat emisi gas rumah kaca di atmosfer sebagai hasil dari lebih dari 150 tahun dari kegiatan industri di negara – negara maju tersebut.
          Protokol Kyoto menggariskan 37 negara industri, yang kemudian disebut dengan negara Annex I. Negara – negara Annex I adalah negara – negara yang terdaftar sebagai Annex I dalam UNFCCC. Mereka terdiri dari negara – negara maju, termasuk negara – negara yang berada dalam tahap transisi ekonomi seperti Rusia dan negara – negara Eropa Timur. Negara Annex I tersebut diwajibkan untuk masing-masing mengurangi emisi GRK sampai dengan 5% di bawah tingkat emisi tahun 1990, untuk periode tahun 2008–2012 (Kyoto Protocol, Article 3). Angka ini disepakati berdasarkan rekomendasi yang tertera dalam laporan panel ilmuwan PBB IPCC. Adapun kelompok GRK yang ditetapkan oleh Protokol Kyoto adalah carbon dioksida (CO2), Metana (CH4), nitro-oksida (N2O), HFCs, PFCs, dan SF6.
          Berdasarkan Protokol Kyoto Artikel 3, Annex I memiliki batas emisi GRK yang berbeda untuk periode 5 tahunan dari 2008-2012 (periode komitmen pertama) :
-      Batas emisi yang disebut ‘assigned amounts’ untuk masing – masing negara, dihitung sebagai berikut :
(Emisi tahun dasar) x (Target Reduksi Emisi) x 5
-      Emisi Tahun Dasar pada dasarnya adalah jumlah emisi GRK agregat pada tahun 1990 di masing – masing negara (untuk HFCs, PFCs, SF6, tahun 1995 dapat digunakan sebagai tahun dasar
          Di dalam membantu negara Annex I yang terikat kewajiban dalam  penurunan emisi, Protokol Kyoto menetapkan berbagai mekanisme fleksibel (flexible mechanisms) seperti implementasi bersama (Joint Implementation), perdagangan emisi internasional (Internasional Emission Trading), dan mekanisme pembangunan bersih (Clean Development Mechanism). Dengan adanya mekanisme tersebut dapat memungkinkan negara industri untuk memperoleh kredit emisi dengan cara pembiayai proyek pengurangan emisi di negara di luar negara Annex I atau dari negara Annex I yang sudah melampaui batas penurunan emisi yang diwajibkan.

1. Joint Implementation / JI (Implementasi Bersama)
          Joint Implementation (JI) adalah sebuah mekanisme pada Protokol Kyoto yang tertuang di dalam artikel 6, di mana sebuah negara maju yang terdaftar pada Annex I UNFCCC dapat mengembangkan sebuah proyek yang bertujuan pada penurunan emisi karbon di negara Annex I lainnya. Pelaksanaan JI hanya dapat dilakukan antar dua negara maju pada Annex I. Keadaan tersebut akan membentuk sebuah pasar karbon.
          Ada dua tingkatan di dalam pelaksanan JI, yaitu JI Tier 1 dan JI Tier 2.  Tier 1 adalah untuk negara-negara yang pencatatan emisi domestik serta perubahannya tidak terlalu rapi (mirip dengan situasi negara-negara berkembang), sehingga pencatatan dan monitoring di tingkat proyek menjadi sangat teliti dan hati-hati.  Sementara itu, JI Tier 2 adalah untuk negara-negara yang pencatatan emisi domestik serta perubahannya sudah rapi (sama dengan situasi negara-negara maju lainnya), sehingga monitoring di tingkat proyek tidak harus terlalu menuntut.
          Negara Annex I yang memiliki kelebihan jatah emisi GRK (emission cap) dapat membantu negara Annex I lainnya yang tidak memiliki cap, untuk mengimplementasikan kegiatan proyek yang mereduksi GRK dan kredit reduksi emisi akan diterbitkan berdasarkan jumlah reduksi emisi yang dihasilkan oleh kegiatan proyek. Negara yang menjadi penyelenggara proyek JI ini dinamakan negara tuan rumah. Kredit penurunan emisi dari JI disebut Emission Reduction Unit (ERU). Setiap proyek JI harus dapat menghasilkan reduksi emisi atau penyerapan GRK dan bersifat additional terhadap kondisi yang mungkin terjadi tanpa adanya proyek.
          Negara Annex I dapat menggunakan ERU untuk memenuhi target penurunan emisi GRK berdasarkan Protokol Kyoto. Total cap emisi negara – negara Annex I tidak akan berubah, karena JI hanya berupa transfer antar negara Annex I yang sama – sama memiliki cap emisi. ERU hanya akan diterbitkan setelah tahun 2008.


Berikut ilustrasi kegiatan dalam pelaksanaan JI :

Gambar 3. Pelaksanaan Kegiatan JI


 




















Sumber : Institutes for Global Enviromental Strategies (IGES), Februari 2011


2. International Emission Trading / IET (Perdagangan Emisi Internasional)
IET adalah mekanisme perdagangan emisi yang hanya dapat dilakukan antarnegara industri dalam Annex I. Dengan adanya IET maka  memungkinkan sebuah negara Annex I untuk menjual kredit penurunan emisi GRK kepada negara Annex I lainnya. Semua kredit penurunan emisi yang ditetapkan Protokol Kyoto, seperti Assigned Ammount Unit (AAU), Removal Unit (RMU), Certified Emission Reduction (CER) maupun Emission Reduction Unit (ERU) dapat diperjualbelikan melalui mekanisme ini. Negara industri dengan emisi GRK di bawah batas yang telah diizinkan dapat memperdagangkan kelebihan bagian emisinya dengan negara industri lain yang tidak dapat memenuhi kewajibannya. Namun, jumlah emisi GRK yang diperdagangkan dibatasi agar negara pembeli tetap memenuhi kewajibannya.
Berbeda dengan JI yang kredit penurunan emisinya berbasis proyek, IET tidak memerlukan suatu proyek yang spesifik. IET dapat dilaksanakan apabila suatu negara Annex I memiliki kredit penurunan emisi gas rumah kaca melebihi target negaranya. Kredit tersebut dapat dijual ke negara Annex I lainnya.

Berikut ilustrasi kegiatan dalam pelaksanaan IET :

Gambar 4. Perbedaan Sesudah dan Sebelum Melakukan IET



Cap Emisi ,Emisi GRK,Emisi GRK,Cap Emisi
 












Negara X
Negara Y
Total
Sebelum ET : Emission cap
10
8
18
Perdagangan unit Kyoto
-
-
-
Setelah ET : Emission cap
10
8
18
Emisi GRK
12
10
22
Reduksi yang diperlukan
2
2
4
Biaya reduksi per satuan unit
$ 200
$ 100
-
Biaya total reduksi emisi GRK
$ 400
$ 200
$ 600
Biaya perdagangan
-
-
-
Total biaya yang dikeluarkan
$ 400
$ 200
$ 600


















Cap Emisi ,Emisi GRK,Emisi GRK,Cap Emisi










 










Negara X
Negara Y
Total
Sebelum ET : Emission cap
10
8
18
Perdagangan unit Kyoto
1
-1
0
Setelah ET : Emission cap
11
7
18
Emisi GRK
12
10
22
Reduksi yang diperlukan
1
3
4
Biaya reduksi per satuan unit
$ 200
$ 100
-
Biaya total reduksi emisi GRK
$ 200
$ 300
$ 500
Biaya perdagangan
150
-150
-
Total biaya yang dikeluarkan
$ 350
$ 150
$ 500
















Catatan : Negara Y menjual 1 (satu) unit Kyoto Kepada Negara X sebesar $150
 


Sumber : Institutes for Global Enviromental Strategies (IGES), Februari 2011

 
 



3. Clean Development Mechanism / CDM (Mekanisme Pembangunan                   Bersih)
CDM merupakan satu-satunya flexibility mechanisms dalam Protokol Kyoto yang memberikan peran bagi negara berkembang (non-Annex I) untuk membantu target penurunan emisi gas rumah kaca negara Annex I. Dalam hal ini, negara-negara yang ada pada Annex I yang memiliki kewajiban untuk menurunkan emisinya sebagaimana tercantum pada Protokol Kyoto, membantu negara-negara non-Annex I untuk melaksananakan proyek-proyek yang mampu menurunkan atau menyerap emisi, setidaknya satu dari enam jenis gas rumah kaca (CO2, CH4, N2O, HFC, PFC dan SF6). Dalam CDM, negara-negara Annex I dapat memenuhi target kewajiban penurunan emisinya melalui investasi proyek penurunan emisi (emission reduction project) maupun perdagangan karbon dengan negara-negara non-Annex I. Berikut ilustrasi kegiatan CDM :

Gambar 5. Pelaksanaan Kegiatan CDM


Emisi GRK,Proyeksi Emisi GRK
 




















Sumber : Institutes for Global Enviromental Strategies (IGES), Februari 2011

CDM diharapkan dapat menjadi faktor pendukung munculnya proyek-proyek berbasis lingkungan di negara non-Annex I. Proyek berbasis lingkungan tersebut akan dinilai, dievaluasi dan divalidasi apakah telah berhasil menurunkan tingkat emisi. Dalam pelaksanaan CDM, negara maju dapat menanamkan modalnya di negara berkembang dalam proyek-proyek yang dapat menghasilkan pengurangan emisi GRK, dengan imbalan CER (Certified Emission Reductions). CER ini dapat dikatakan sebagai hasil sertifikasi reduksi emisi yang setara dengan 1 ton CO2. Dengan CER, negara-negara Annex I dapat mengkonversi nilai tersebut untuk memenuhi target penurunan emisi negaranya.
Tujuan CDM sebagaimana yang tercantum dalam Protokol Kyoto adalah :
1. Membantu negara-negara Annex I dalam memenuhi target  penurunan emisi negaranya
2. Membantu negara non-Annex I dalam mencapai pembangunan yang berkelanjutan dan untuk berkontribusi pada tujuan utama Konvensi Perubahan Iklim, yaitu menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.
CDM (Mekanisme Pembangunan Bersih) mencakup tiga kategori implementasi yaitu “Clean Production” (Produksi Bersih), “Saving Energy” (Penghematan Energi) dan “Fuel Switching” (Pengalihan Bahan Bakar). Realisasi program CDM adalah melakukan reduksi emisi GRK serta penyerapan karbon melalui penanaman pohon di lahan produksi yang mengalami eksploitasi berlebihan. Kegiatan dalam CDM meliputi kegiatan reduksi emisi GRK dan penyerapan karbon, sebagaimana dalam Gambar 6. berikut ini :
Gambar 6. Kegiatan Dalam CDM
 






















Sumber : Al-Jauzaa', 2010, dalam Mekanisme Perdagangan Karbon.

 
 

C. Reducing Emissions From Deforestation And Forest Degradation (REDD)
          Keterbatasan masa berlaku Protokol Kyoto yang akan berakhir pada tahun 2012 itu mendorong banyak negara untuk memikirkan langkah selanjutnya dalam mengatasi permasalahan perubahan iklim. Jika Protokol Kyoto berakhir pada tahun 2012 maka segala bentuk mekanisme serta instrumennya juga akan ikut berakhir pada tahun tersebut. Oleh karenanya, banyak negara yang memikirkan mekanisme baru untuk mengatasi perubahan iklim yang yang lebih menguntungkan bagi negara berkembang, khususnya mereka yang memiliki sumberdaya hutan luas.
          Pada COP 11 di Montreal tahun 2005, Costa Rica, Papua New Guinea (PNG), dan negara-negara pemilik hutan tropis yang tergabung dalam CfRN (Coalition for Rainforest Nation) mengusulkan proposal tentang insentif avoided deforestation. Dalam pertemuan yang sama, beberapa LSM dan ilmuwan dengan dipimpin oleh Environmental Defense menegaskan kembali seruan mereka agar isu hutan dimasukkan dalam instrumen-instrumen perdagangan Kyoto. Karenanya, COP 11 meminta agar Badan Subsider UNFCCC untuk Pertimbangan Ilmiah dan Teknologi (SBSTA) mengevaluasi isu pengurangan emisi dari deforestasi dan melaporkan kembali ke COP 13/MOP 3 UNFCCC pada bulan Desember 2007. Sementara itu, UNFCCC menyelenggarakan dua pertemuan mengenai pengurangan emisi dari deforestasi (REDD) di negara-negara berkembang (dalam bulan Juli 2006 dan Maret 2007). Pada bulan Desember 2007, dalam Konferensi Para Pihak ke-13 UNFCCC yang diadakan di Bali (Indonesia), kemungkinan untuk memasukkan isu hutan dalam rezim iklim internasional semakin berkembang (Al-Jauzaa’,2010).
          Akhirnya Konferensi Para Pihak ke-13 (COP 13) di Bali tahun 2007 menghasilkan Rencana Aksi Bali (Bali Action Plan) sebagai sebuah rencana atau peta jalan negosiasi strategi iklim global untuk melanjutkan Protokol Kyoto. Rencana ini mengakui pentingnya hutan dalam mengatasi perubahan iklim. Selain melakukan pengurangan emisi dari penggunaan bahan bakar fosil di negara-negara industri, kegiatan penanaman pohon untuk menyerap karbon juga berperan dalam mencegah  perubahan iklim. Namun demikian, untuk mengurangi 20 persen dari emisi yang berkaitan dengan hutan, diperlukan pendekatan konservasi yang baru dan lebih efektif. Salah satu pendekatan yang dimaksud adalah REDD (Reducing Emissions from Deforestation And Forest Degradation) atau pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Ide ini berbeda dengan kegiatan konservasi hutan sebelumnya karena dikaitkan langsung dengan insentif finansial untuk konservasi yang bertujuan menyimpan karbon di hutan.
          REDD adalah sebuah mekanisme internasional yang dimaksudkan untuk memberikan insentif bagi negara berkembang dalam pengurangan deforestasi dan pengrusakan hutan dengan maksud mengurangi emisi dari deforestasi dan kerusakan hutan tersebut.  REDD dilaksanakan atas dasar sukarela (voluntary basis) dengan prinsip menghormati kedaulatan negara (sovereignity).