Selasa, 24 Januari 2012

Keterkaitan UNFCCC, Protokol Kyoto, serta REDD dalam Rangka Penanggulangan Gas Rumah Kaca dan Global Warming


       Pemanasan global berawal dari adanya Revolusi Industri pada akhir abad ke-18 di Eropa. Revolusi Industri adalah masa dimana terjadi pengalihan kegiatan produksi yang semula menggunakan tenaga manusia menjadi penggunaan mesin dan teknologi (industri). Semula tujuan dari Revolusi Industri adalah untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar dengan adanya pengalihan kegiatan produksi menggunakan mesin tersebut, karena penggunaan mesin dianggap lebih efisien dari pada menggunakan tenaga manusia. Sehingga sejak saat itu pula bahan bakar fosil mulai digunakan secara intensif. Namun, masalah baru muncul setelah terjadi Revolusi Industri tersebut. Penggunaan mesin pada kegiatan produksi tersebut ternyata menghasilkan gas buangan dari hasil pembakarannya, yang kemudian menimbulkan polusi (emisi Gas Rumah Kaca atau GRK) sehingga mulai terjadi apa yang dinamakan pemanasan global (global warming).
          Polusi yang diakibatkan oleh aktivitas manusia tersebut menghasilkan GRK yang menjadi penyebab terjadinya global warming. Di lansir dari Wikipedia Indonesia, Gas Rumah Kaca (GRK) dapat diartikan sebagai gas-gas yang ada di atmosfer yang menyebabkan efek rumah kaca. Gas-gas tersebut sebenarnya muncul secara alami di lingkungan, tetapi dapat juga timbul akibat aktivitas manusia.Peningkatan konsentrasi GRK sebagai akibat aktivitas kegiatan manusia tersebut telah menyebabkan meningkatnya radiasi sinar UV yang terperangkap di atmosfer sehingga menimbulkan efek pada bumi. GRK dapat diilustrasikan ke dalam gambar di bawah ini :

Gambar 1. Efek Rumah Kaca
Sumber : pesonageografi.wordpress.com/2011/01/22/pemanasan-global-global-warming
 
          Efek rumah kaca disebabkan karena naiknya konsentrasi gas karbon dioksida (CO2) dan gas-gas lainnya di atmosfer. Kenaikan konsentrasi gas CO2 ini disebabkan oleh kenaikan pembakaran bahan bakar minyak, batu bara dan bahan bakar organik lainnya yang melampaui kemampuan tumbuhan-tumbuhan dan laut untuk menyerapnya. Selain gas CO2, yang dapat menimbulkan efek rumah kaca adalah belerang dioksida, nitrogen monoksida (NO) dan nitrogen dioksida (NO2) serta beberapa senyawa organik seperti gas metana dan klorofluorokarbon (CFC). Gas-gas tersebut memegang peranan penting dalam meningkatkan efek rumah kaca (Wikipedia Indonesia,2011).
          Efek rumah kaca juga akan mengakibatkan meningkatnya suhu air laut sehingga terjadi kenaikan permukaan air laut. Hal ini berkontribusi terhadap fenomena pemanasan global (global warming) yaitu meningkatnya suhu permukaan bumi. Pemanasan global akan mengakibatkan mencairnya gunung-gunung es di daerah kutub yang dapat menimbulkan naiknya permukaan air laut. Pemanasan global juga mengakibatkan perubahan iklim yang berupa perubahan pada unsur – unsur iklim seperti naiknya suhu permukaan bumi, meningkatnya penguapan di udara, berubahnya pola curah hujan, dan tekanan udara yang sangat berdampak pada pengubahan pola iklim dunia.  

A. Perumusan United Nations Frameworks Convention on Climate Change        
     (UNFCCC)
          Isu mengenai pemanasan global dan perubahan iklim dunia tersebut yang semula hanya digulirkan oleh beberapa orang ahli kemudian menjadi isu hangat yang mulai ramai diperbincangkan. Isu tersebut kemudian semakin mendunia setelah adakannya pertemuan  WMO (World Meteorology Organization) pada dekade 1980-an. Kemudian  WMO dan United Nations Environment Programme (UNEP) membentuk Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) pada tahun 1988.
          IPCC merupakan kelompok para ilmuwan dari seluruh dunia yang memiliki tugas di dalam meneliti fenomena perubahan iklim serta pemecahan yang diperlukan. Pada tahun 1990, IPCC menerbitkan laporan pertamanya yang dikenal dengan First Assessment Report yang menyimpulkan suhu meningkat sekitar 0,3-0,6° C dalam satu abad terakhir. Laporan tersebut menjelaskan emisi yang dihasilkan manusia telah menambah Gas Rumah Kaca alami dan penambahan itu akan menyebabkan kenaikan suhu. Oleh karena itu, IPCC menyerukan pentingnya sebuah kesepakatan global untuk menanggulangi masalah tersebut.
          Pada Desember 1990, Majelis Umum PBB akhirnya menanggapi seruan IPCC untuk mengatasi masalah perubahan iklim secara global dengan meluncurkan negosiasi mengenai kerangka konvensi perubahan iklim dan dengan membentuk Intergovernmental Negotiating Committee (INC) untuk pelaksanaan negosiasi tersebut. Akhirnya, pada bulan Mei 1992, INC menyepakati Kerangka Konvensi PBB mengenai Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on Climate Change – UNFCCC).
          PBB menyelenggarakan United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) atau Konferensi Khusus tentang Masalah Lingkungan dan Pembangunan atau yang lebih dikenal dengan  KTT Bumi (Earth Summit)  pada 1992 di Rio de Janeiro, Brazil.  KTT Bumi menekankan pentingnya semangat kebersamaan (multilaterisme) untuk mengatasi berbagai masalah yang ditimbulkan oleh benturan antara upaya-upaya melaksanakan pembangunan dan upaya-upaya melestarikan lingkungan (Al-Jauzaa’,2010).

Gambar 2. Perumusan UNFCCC


 














          Konvensi ini bertujuan untuk melakukan stabilisasi konsentrasi Gas Rumah Kaca dalam atmosfer pada level yang aman dan memungkinkan terjadinya adaptasi ekosistem, sehingga dapat menjamin ketersediaan pangan dan pembangunan berkelanjutan. Konvensi ini menekankan kesetaraan dan kehati-hatian (precautionary principle) sebagai dasar semua kebijakan. Pada konvensi ini juga dikenal adanya prinsip “common but differentiated responsibilities”, dimana setiap negara memiliki tanggung jawab yang sama tetapi dengan peran yang berbeda-beda, dalam upayanya menekan laju peningkatan emisi GRK dinegerinya. Konvensi ini sendiri tak membatasi emisi gas rumah kaca bagi negara-negara, dan tak memiliki daya paksa apapun. Forum pengambilan keputusan tertinggi dalam kerangka UNFCCC adalah Conference of Parties (COP).
          UNFCCC mulai ditandatangani pada 9 Mei 1992, serta mulai diterapkan pada 21 Maret 1994.  Akhirnya pada tahun 1994, Indonesia meratifikasi UNFCCC melalui Undang-Undang No. 6 tahun 1994. Dengan meratifikasi UNFCCC tersebut, Indonesia berkewajiban mengkomunikasikan berbagai upaya yang dilakukan dalam rangka mengurangi dampak pemanasan global akibat terjadinya perubahan iklim global.
          Setelah diadakan KTT Bumi, kemudian diselenggarakanlah beberapa COP (Conference of the Parties). Yang paling penting di antaranya adalah COP III di Kyoto, Jepang, pada bulan Desember 1997 yang menghasilkan Protokol Kyoto.

B. Protokol Kyoto
          Sesuai dengan namanya, Protokol Kyoto dihasilkan dalam pertemuan ketiga Conference of Parties (COP) UNFCCC pada tanggal 11 Desember 1997 di kota Kyoto, Jepang, dan mulai berlaku pada 16 Februari 2005. Yang menjadi perbedaan utama antara Konvensi dan Protokol yaitu Konvensi akan mendorong negara – negara industri untuk menstabilkan emisi GRK, sedangkan Protokol membuat mereka berkomitmen untuk melakukannya. Bagi negara yang menandatangani dan meratifikasinya, Protokol Kyoto akan mengikat secara hukum.
          Protokol Kyoto memiliki masa komitmen yang akan berakhir pada tahun 2012. Negara-negara penandatangan UNFCCC masih berada dalam proses perumusan perjanjian baru yang akan meneruskan atau menggantikan Protokol Kyoto setelah masa komitmen pertama berakhir. Untuk itu pada tahun 2007 telah dihasilkan Bali Roadmap yang melandasi perundingan internasional dalam mencapai hal tersebut.
          Protokol Kyoto merumuskan secara rinci langkah yang wajib dan dapat diambil oleh berbagai negara yang meratifikasinya untuk mencapai tujuan yang disepakati dalam perjanjian internasional perubahan iklim PBB, yaitu “stabilisasi konsentrasi gas rumah kaca dalam atmosfir pada tingkat yang dapat mencegah terjadinya gangguan manusia/ antropogenis pada sistem iklim dunia”. Protokol Kyoto menempatkan beban berat pada negara-negara maju di bawah prinsip "common but differentiated responsibilities", hal ini dikarenakan negara – negara maju lebih bertanggung jawab atas tingginya tingkat emisi gas rumah kaca di atmosfer sebagai hasil dari lebih dari 150 tahun dari kegiatan industri di negara – negara maju tersebut.
          Protokol Kyoto menggariskan 37 negara industri, yang kemudian disebut dengan negara Annex I. Negara – negara Annex I adalah negara – negara yang terdaftar sebagai Annex I dalam UNFCCC. Mereka terdiri dari negara – negara maju, termasuk negara – negara yang berada dalam tahap transisi ekonomi seperti Rusia dan negara – negara Eropa Timur. Negara Annex I tersebut diwajibkan untuk masing-masing mengurangi emisi GRK sampai dengan 5% di bawah tingkat emisi tahun 1990, untuk periode tahun 2008–2012 (Kyoto Protocol, Article 3). Angka ini disepakati berdasarkan rekomendasi yang tertera dalam laporan panel ilmuwan PBB IPCC. Adapun kelompok GRK yang ditetapkan oleh Protokol Kyoto adalah carbon dioksida (CO2), Metana (CH4), nitro-oksida (N2O), HFCs, PFCs, dan SF6.
          Berdasarkan Protokol Kyoto Artikel 3, Annex I memiliki batas emisi GRK yang berbeda untuk periode 5 tahunan dari 2008-2012 (periode komitmen pertama) :
-      Batas emisi yang disebut ‘assigned amounts’ untuk masing – masing negara, dihitung sebagai berikut :
(Emisi tahun dasar) x (Target Reduksi Emisi) x 5
-      Emisi Tahun Dasar pada dasarnya adalah jumlah emisi GRK agregat pada tahun 1990 di masing – masing negara (untuk HFCs, PFCs, SF6, tahun 1995 dapat digunakan sebagai tahun dasar
          Di dalam membantu negara Annex I yang terikat kewajiban dalam  penurunan emisi, Protokol Kyoto menetapkan berbagai mekanisme fleksibel (flexible mechanisms) seperti implementasi bersama (Joint Implementation), perdagangan emisi internasional (Internasional Emission Trading), dan mekanisme pembangunan bersih (Clean Development Mechanism). Dengan adanya mekanisme tersebut dapat memungkinkan negara industri untuk memperoleh kredit emisi dengan cara pembiayai proyek pengurangan emisi di negara di luar negara Annex I atau dari negara Annex I yang sudah melampaui batas penurunan emisi yang diwajibkan.

1. Joint Implementation / JI (Implementasi Bersama)
          Joint Implementation (JI) adalah sebuah mekanisme pada Protokol Kyoto yang tertuang di dalam artikel 6, di mana sebuah negara maju yang terdaftar pada Annex I UNFCCC dapat mengembangkan sebuah proyek yang bertujuan pada penurunan emisi karbon di negara Annex I lainnya. Pelaksanaan JI hanya dapat dilakukan antar dua negara maju pada Annex I. Keadaan tersebut akan membentuk sebuah pasar karbon.
          Ada dua tingkatan di dalam pelaksanan JI, yaitu JI Tier 1 dan JI Tier 2.  Tier 1 adalah untuk negara-negara yang pencatatan emisi domestik serta perubahannya tidak terlalu rapi (mirip dengan situasi negara-negara berkembang), sehingga pencatatan dan monitoring di tingkat proyek menjadi sangat teliti dan hati-hati.  Sementara itu, JI Tier 2 adalah untuk negara-negara yang pencatatan emisi domestik serta perubahannya sudah rapi (sama dengan situasi negara-negara maju lainnya), sehingga monitoring di tingkat proyek tidak harus terlalu menuntut.
          Negara Annex I yang memiliki kelebihan jatah emisi GRK (emission cap) dapat membantu negara Annex I lainnya yang tidak memiliki cap, untuk mengimplementasikan kegiatan proyek yang mereduksi GRK dan kredit reduksi emisi akan diterbitkan berdasarkan jumlah reduksi emisi yang dihasilkan oleh kegiatan proyek. Negara yang menjadi penyelenggara proyek JI ini dinamakan negara tuan rumah. Kredit penurunan emisi dari JI disebut Emission Reduction Unit (ERU). Setiap proyek JI harus dapat menghasilkan reduksi emisi atau penyerapan GRK dan bersifat additional terhadap kondisi yang mungkin terjadi tanpa adanya proyek.
          Negara Annex I dapat menggunakan ERU untuk memenuhi target penurunan emisi GRK berdasarkan Protokol Kyoto. Total cap emisi negara – negara Annex I tidak akan berubah, karena JI hanya berupa transfer antar negara Annex I yang sama – sama memiliki cap emisi. ERU hanya akan diterbitkan setelah tahun 2008.


Berikut ilustrasi kegiatan dalam pelaksanaan JI :

Gambar 3. Pelaksanaan Kegiatan JI


 




















Sumber : Institutes for Global Enviromental Strategies (IGES), Februari 2011


2. International Emission Trading / IET (Perdagangan Emisi Internasional)
IET adalah mekanisme perdagangan emisi yang hanya dapat dilakukan antarnegara industri dalam Annex I. Dengan adanya IET maka  memungkinkan sebuah negara Annex I untuk menjual kredit penurunan emisi GRK kepada negara Annex I lainnya. Semua kredit penurunan emisi yang ditetapkan Protokol Kyoto, seperti Assigned Ammount Unit (AAU), Removal Unit (RMU), Certified Emission Reduction (CER) maupun Emission Reduction Unit (ERU) dapat diperjualbelikan melalui mekanisme ini. Negara industri dengan emisi GRK di bawah batas yang telah diizinkan dapat memperdagangkan kelebihan bagian emisinya dengan negara industri lain yang tidak dapat memenuhi kewajibannya. Namun, jumlah emisi GRK yang diperdagangkan dibatasi agar negara pembeli tetap memenuhi kewajibannya.
Berbeda dengan JI yang kredit penurunan emisinya berbasis proyek, IET tidak memerlukan suatu proyek yang spesifik. IET dapat dilaksanakan apabila suatu negara Annex I memiliki kredit penurunan emisi gas rumah kaca melebihi target negaranya. Kredit tersebut dapat dijual ke negara Annex I lainnya.

Berikut ilustrasi kegiatan dalam pelaksanaan IET :

Gambar 4. Perbedaan Sesudah dan Sebelum Melakukan IET



Cap Emisi ,Emisi GRK,Emisi GRK,Cap Emisi
 












Negara X
Negara Y
Total
Sebelum ET : Emission cap
10
8
18
Perdagangan unit Kyoto
-
-
-
Setelah ET : Emission cap
10
8
18
Emisi GRK
12
10
22
Reduksi yang diperlukan
2
2
4
Biaya reduksi per satuan unit
$ 200
$ 100
-
Biaya total reduksi emisi GRK
$ 400
$ 200
$ 600
Biaya perdagangan
-
-
-
Total biaya yang dikeluarkan
$ 400
$ 200
$ 600


















Cap Emisi ,Emisi GRK,Emisi GRK,Cap Emisi










 










Negara X
Negara Y
Total
Sebelum ET : Emission cap
10
8
18
Perdagangan unit Kyoto
1
-1
0
Setelah ET : Emission cap
11
7
18
Emisi GRK
12
10
22
Reduksi yang diperlukan
1
3
4
Biaya reduksi per satuan unit
$ 200
$ 100
-
Biaya total reduksi emisi GRK
$ 200
$ 300
$ 500
Biaya perdagangan
150
-150
-
Total biaya yang dikeluarkan
$ 350
$ 150
$ 500
















Catatan : Negara Y menjual 1 (satu) unit Kyoto Kepada Negara X sebesar $150
 


Sumber : Institutes for Global Enviromental Strategies (IGES), Februari 2011

 
 



3. Clean Development Mechanism / CDM (Mekanisme Pembangunan                   Bersih)
CDM merupakan satu-satunya flexibility mechanisms dalam Protokol Kyoto yang memberikan peran bagi negara berkembang (non-Annex I) untuk membantu target penurunan emisi gas rumah kaca negara Annex I. Dalam hal ini, negara-negara yang ada pada Annex I yang memiliki kewajiban untuk menurunkan emisinya sebagaimana tercantum pada Protokol Kyoto, membantu negara-negara non-Annex I untuk melaksananakan proyek-proyek yang mampu menurunkan atau menyerap emisi, setidaknya satu dari enam jenis gas rumah kaca (CO2, CH4, N2O, HFC, PFC dan SF6). Dalam CDM, negara-negara Annex I dapat memenuhi target kewajiban penurunan emisinya melalui investasi proyek penurunan emisi (emission reduction project) maupun perdagangan karbon dengan negara-negara non-Annex I. Berikut ilustrasi kegiatan CDM :

Gambar 5. Pelaksanaan Kegiatan CDM


Emisi GRK,Proyeksi Emisi GRK
 




















Sumber : Institutes for Global Enviromental Strategies (IGES), Februari 2011

CDM diharapkan dapat menjadi faktor pendukung munculnya proyek-proyek berbasis lingkungan di negara non-Annex I. Proyek berbasis lingkungan tersebut akan dinilai, dievaluasi dan divalidasi apakah telah berhasil menurunkan tingkat emisi. Dalam pelaksanaan CDM, negara maju dapat menanamkan modalnya di negara berkembang dalam proyek-proyek yang dapat menghasilkan pengurangan emisi GRK, dengan imbalan CER (Certified Emission Reductions). CER ini dapat dikatakan sebagai hasil sertifikasi reduksi emisi yang setara dengan 1 ton CO2. Dengan CER, negara-negara Annex I dapat mengkonversi nilai tersebut untuk memenuhi target penurunan emisi negaranya.
Tujuan CDM sebagaimana yang tercantum dalam Protokol Kyoto adalah :
1. Membantu negara-negara Annex I dalam memenuhi target  penurunan emisi negaranya
2. Membantu negara non-Annex I dalam mencapai pembangunan yang berkelanjutan dan untuk berkontribusi pada tujuan utama Konvensi Perubahan Iklim, yaitu menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer.
CDM (Mekanisme Pembangunan Bersih) mencakup tiga kategori implementasi yaitu “Clean Production” (Produksi Bersih), “Saving Energy” (Penghematan Energi) dan “Fuel Switching” (Pengalihan Bahan Bakar). Realisasi program CDM adalah melakukan reduksi emisi GRK serta penyerapan karbon melalui penanaman pohon di lahan produksi yang mengalami eksploitasi berlebihan. Kegiatan dalam CDM meliputi kegiatan reduksi emisi GRK dan penyerapan karbon, sebagaimana dalam Gambar 6. berikut ini :
Gambar 6. Kegiatan Dalam CDM
 






















Sumber : Al-Jauzaa', 2010, dalam Mekanisme Perdagangan Karbon.

 
 

C. Reducing Emissions From Deforestation And Forest Degradation (REDD)
          Keterbatasan masa berlaku Protokol Kyoto yang akan berakhir pada tahun 2012 itu mendorong banyak negara untuk memikirkan langkah selanjutnya dalam mengatasi permasalahan perubahan iklim. Jika Protokol Kyoto berakhir pada tahun 2012 maka segala bentuk mekanisme serta instrumennya juga akan ikut berakhir pada tahun tersebut. Oleh karenanya, banyak negara yang memikirkan mekanisme baru untuk mengatasi perubahan iklim yang yang lebih menguntungkan bagi negara berkembang, khususnya mereka yang memiliki sumberdaya hutan luas.
          Pada COP 11 di Montreal tahun 2005, Costa Rica, Papua New Guinea (PNG), dan negara-negara pemilik hutan tropis yang tergabung dalam CfRN (Coalition for Rainforest Nation) mengusulkan proposal tentang insentif avoided deforestation. Dalam pertemuan yang sama, beberapa LSM dan ilmuwan dengan dipimpin oleh Environmental Defense menegaskan kembali seruan mereka agar isu hutan dimasukkan dalam instrumen-instrumen perdagangan Kyoto. Karenanya, COP 11 meminta agar Badan Subsider UNFCCC untuk Pertimbangan Ilmiah dan Teknologi (SBSTA) mengevaluasi isu pengurangan emisi dari deforestasi dan melaporkan kembali ke COP 13/MOP 3 UNFCCC pada bulan Desember 2007. Sementara itu, UNFCCC menyelenggarakan dua pertemuan mengenai pengurangan emisi dari deforestasi (REDD) di negara-negara berkembang (dalam bulan Juli 2006 dan Maret 2007). Pada bulan Desember 2007, dalam Konferensi Para Pihak ke-13 UNFCCC yang diadakan di Bali (Indonesia), kemungkinan untuk memasukkan isu hutan dalam rezim iklim internasional semakin berkembang (Al-Jauzaa’,2010).
          Akhirnya Konferensi Para Pihak ke-13 (COP 13) di Bali tahun 2007 menghasilkan Rencana Aksi Bali (Bali Action Plan) sebagai sebuah rencana atau peta jalan negosiasi strategi iklim global untuk melanjutkan Protokol Kyoto. Rencana ini mengakui pentingnya hutan dalam mengatasi perubahan iklim. Selain melakukan pengurangan emisi dari penggunaan bahan bakar fosil di negara-negara industri, kegiatan penanaman pohon untuk menyerap karbon juga berperan dalam mencegah  perubahan iklim. Namun demikian, untuk mengurangi 20 persen dari emisi yang berkaitan dengan hutan, diperlukan pendekatan konservasi yang baru dan lebih efektif. Salah satu pendekatan yang dimaksud adalah REDD (Reducing Emissions from Deforestation And Forest Degradation) atau pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Ide ini berbeda dengan kegiatan konservasi hutan sebelumnya karena dikaitkan langsung dengan insentif finansial untuk konservasi yang bertujuan menyimpan karbon di hutan.
          REDD adalah sebuah mekanisme internasional yang dimaksudkan untuk memberikan insentif bagi negara berkembang dalam pengurangan deforestasi dan pengrusakan hutan dengan maksud mengurangi emisi dari deforestasi dan kerusakan hutan tersebut.  REDD dilaksanakan atas dasar sukarela (voluntary basis) dengan prinsip menghormati kedaulatan negara (sovereignity).
         

2 komentar:

  1. assalamualaikum. bang, bisa bagi sumber2nya ?

    BalasHapus
  2. sebelumnya saya berterima kasih atas catatan ini. makasih banyak

    BalasHapus